Beranda | Artikel
Belajar Manhaj dari Surat al-Fatihah
Selasa, 2 Februari 2016

Di dalam surat al-Fatihah terkandung pelajaran tentang manhaj atau cara beragama yang benar di dalam Islam. Manhaj yang benar itu adalah mengikuti salafus shalih; para pendahulu yang salih dari umat ini yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Di dalam surat al-Fatihah kita berdoa kepada Allah (yang artinya), “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus.” Siapakah orang-orang yang berjalan di atas jalan yang lurus itu? Allah berfirman (yang artinya), “Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.” Siapakah yang dimaksud ‘orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah’ itu? Mereka itu adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam ayat (yang artinya), “Yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’, dan orang-orang salih.” (an-Nisaa’ : 69) (lihat transkrip Manhaj Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih oleh Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah, hal. 7-8)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka; mereka itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan anda setiap raka’at selalu berdoa kepada Allah untuk memberikan petunjuk kepada jalan mereka itu.” (lihat Tafsir Ayat minal Qur’anil Karim, hal. 17)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil tafsiran shirothol mustaqim/jalan yang lurus dari Abul ‘Aliyah rahimahullah. Abul ‘Aliyah berkata, “Itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua orang sahabatnya yang sesudah beliau.” ‘Ashim berkata, “Kami pun menyebutkan penafsiran ini kepada al-Hasan. Maka al-Hasan berkata, “Benar apa yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan dia telah memberikan nasihat.”.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/139)

Jalan yang lurus ini juga disebut dengan jalan kaum beriman. Di dalam al-Qur’an Allah telah memberikan ancaman keras bagi orang-orang yang menyimpang dari jalan kaum beriman. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan kaum beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115)

Para sahabat yaitu yang terdiri dari kalangan Muhajirin dan Anshar mereka itulah teladan bagi kaum beriman sesudah mereka. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan keselamatan. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya, dan Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (at-Taubah : 100)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para sahabatku! Sesungguhnya seandainya salah seorang diantara kalian memberikan infak sebesar gunung Uhud berupa emas maka hal itu tidak bisa menyaingi infak mereka yang hanya satu mud, bahkan setengahnya saja tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka mereka itulah teladan bagi umat ini. Dan manhaj mereka itu adalah jalan yang mereka tempuh dalam hal aqidah, dalam hal mu’amalah, dalam hal akhlak, dan dalam segala urusan mereka. Itulah manhaj yang diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah karena kedekatan mereka dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kedekatan mereka dengan masa turunnya wahyu. Mereka mengambilnya dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka mereka itu adalah sebaik-baik kurun, dan manhaj mereka adalah manhaj yang terbaik.” (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 2-3)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga menasihatkan, “Dan tidak mungkin mengikuti mereka dengan baik kecuali dengan cara mempelajari madzhab mereka, manhaj mereka, dan jalan yang mereka tempuh. Adapun semata-mata menyandarkan diri kepada salaf atau salafiyah tanpa disertai pemahaman tentang hakikat dan manhajnya maka hal ini tidak bermanfaat sama sekali. Bahkan bisa jadi justru menimbulkan mudharat. Oleh sebab itu harus mengenal hakikat manhaj salafush shalih.” (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 3)

Di dalam surat al-Fatihah, Allah pun telah menjelaskan kepada kita bahwa hakikat jalan yang lurus itu adalah dengan memadukan antara ilmu dan amal. Sebab hakikat jalan yang lurus ini adalah mengenali kebenaran dan beramal dengannya (lihat keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39)

Oleh sebab itu kemudian dijelaskan dalam lanjutan ayat (yang artinya), “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai.” Mereka itu adalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah yaitu orang-orang Yahudi. Dimana mereka telah mengetahui kebenaran, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Setiap orang yang meniti jalan kaum Yahudi dari kalangan umat ini -setiap orang yang mengenali kebenaran tetapi tidak mengamalkannya- maka dia berada di atas jalan kaum Yahudi -di atas jalan orang-orang yang dimurkai- karena dia telah mengenali kebenaran tetapi tidak mau beramal dengannya. Dia mengambil ilmu tetapi meninggalkan amal. Dan setiap orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya maka dia termasuk golongan orang-orang yang dimurkai (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 8)

Jalan yang lurus ini ditegakkan di atas ilmu. Tidak cukup bermodalkan semangat untuk beramal apabila tidak disertai dengan landasan ilmu. Oleh sebab itu dalam lanjutan ayat Allah berfirman (yang artinya), “Dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” Mereka itu adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah di atas kebodohan dan kesesatan. Mereka beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah namun tidak di atas jalan yang benar. Tidak berada di atas manhaj yang lurus. Tidak berlandaskan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Yaitu berada di atas kebid’ahan. Padahal setiap bid’ah itu adalah sesat. Hal ini sebagaimana keadaan yang ada pada kaum Nasrani dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka; yaitu orang-orang yang beribadah kepada Allah tetapi tidak di atas jalan yang benar dan tidak di atas manhaj yang lurus. Maka orang semacam itu adalah tersesat. Dia menyimpang dari jalan yang benar dan amalnya menjadi sia-sia (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 8-9)

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka menyangka bahwa dirinya telah berbuat yang sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)

Ayat tersebut dijelaskan oleh para ulama bersifat umum mencakup kaum Yahudi dan Nasrani bahkan juga kaum Khawarij dan siapa saja yang beribadah kepada Allah tidak di atas jalan yang benar dimana dia mengira bahwa dia berada di atas kebenaran dan menyangka bahwa amalnya pasti diterima padahal sesungguhnya dia telah keliru dan amalnya menjadi sia-sia (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah, 5/201-202)

Hal ini memberikan faidah kepada kita bahwa menyimpang dari jalan yang lurus ini -baik dalam hal ilmu ataupun amalan- maka hal itu memiliki dampak yang sangat membahayakan. Akibat terburuknya adalah keluar dari jalan Islam dan terjerumus dalam syirik dan kekafiran. Oleh sebab itulah sangat wajar apabila kita diperintahkan untuk berdoa kepada Allah meminta petunjuk menuju jalan yang lurus ini di dalam setiap raka’at sholat kita. Karena begitu besarnya kebutuhan kita terhadap hidayah itu. Tanpa hidayah maka seorang hamba pasti celaka dan binasa.

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “…Kebutuhan hamba kepada hidayah ini lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman itu adalah bekal kehidupannya yang fana. Adapun hidayah menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi.” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/152)

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang rusak diantara orang-orang yang berilmu diantara kita maka padanya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak diantara orang-orang yang gemar beribadah diantara kita maka padanya terdapat keserupaan dengan Nasrani.” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/152-153)

Semua orang menjadi merugi dan celaka apabila tidak mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah. Karena dengan hidayah itulah mereka bisa beriman dan beramal salih. Tanpa hidayah dari Allah maka tidak ada seorang pun yang bisa beriman, beramal, ataupun berdakwah dan bersabar. Padahal iman, amal salih, dakwah, dan kesabaran adalah kunci-kunci kebahagiaan.

Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85)

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (al-Maa’idah : 72)

Jalan yang lurus ini adalah jalan para nabi, jalan yang ditempuh oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat/teladan yang senantiasa patuh kepada Allah lagi hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik. Dia selalu mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (an-Nahl : 120-121).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya di atas syari’at yang diridhai.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 4/611)

Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya agama Allah yang dipilih-Nya bagi hamba-hamba-Nya, agama yang menjadi misi diutusnya para rasul, dan agama yang menjadi muatan kitab-kitab yang diturunkan-Nya ialah al-Hanifiyah. Itulah agama Ibrahim al-Khalil ‘alahis salam. Sebagaimana itu menjadi agama para nabi sebelumnya dan para rasul sesudahnya hingga penutup mereka semua yaitu Muhammad, semoga salawat dan salam tercurah kepada mereka semuanya.” (lihat al-Bayan al-Murashsha’ Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 14)

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah berkata, “al-Hanifiyah itu adalah tauhid. Yaitu kamu beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya. Ini merupakan kandungan makna dari laa ilaha illallah. Karena sesungguhnya maknanya adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 11)

Qatadah rahimahullah berkata, “al-Hanifiyah itu adalah syahadat laa ilaha illallah.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/448 oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus seorang nabipun sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiyaa’ : 25)

Allah berfirman (yang artinya), “Kemudian Kami wahyukan kepadamu; Hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim secara hanif.” (an-Nahl : 123)

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sesungguhnya aku telah diberikan petunjuk oleh Rabbku menuju jalan yang lurus, agama yang tegak yaitu millah Ibrahim yang hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang musyrik.” (al-An’am : 161)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla sebagaimana para nabi yang lain. Semua nabi mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 330)

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang indah pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (al-Mumtahanah : 4)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sungguh telah disyari’atkan terjadinya permusuhan dan kebencian dari sejak sekarang antara kami dengan kalian selama kalian bertahan di atas kekafiran, maka kami akan berlepas diri dan membenci kalian untuk selamanya “sampai kalian beriman kepada Allah semata” maksudnya adalah sampai kalian mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan kalian mencampakkan segala yang kalian sembah selain-Nya berupa tandingan dan berhala.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 8/87)

Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang telah mendapatkan sekian banyak sanjungan dan pujian dari Allah. Beliau yang menegakkan dakwah tauhid ini kepada kaumnya dan menghadapi berbagai macam hambatan dan rintangan dengan penuh kesabaran. Ibrahim yang dinyatakan oleh Allah berada di atas jalan yang lurus. Namun, lihatlah bagaimana beliau ‘alaihis salam sangat merasa takut kalau dirinya terjerumus dalam syirik dan penyembahan berhala. Beliau berdoa (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung.” (Ibrahim : 35)

Apabila orang seperti beliau memiliki rasa takut yang sedemikian besar terhadap syirik -yang itu merupakan bentuk penyimpangan terburuk dari jalan yang lurus- maka bagaimanakah lagi dengan orang-orang yang berada di bawah kedudukan beliau? Apakah kita pantas untuk merasa aman dari kesesatan dan penyimpangan?! Demi Allah, wahai saudaraku, tidak ada yang bisa menjaga kita untuk tetap berjalan di atas kebenaran kecuali hanya Allah saja…


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/belajar-manhaj-dari-surat-al-fatihah/